Monday, May 16, 2016

PENGAJAR CILIK HAUS KASIH SAYANG

 Oleh : Suhendra Saputra S.Pd

 “Dimas bapak mau minta tolong, bimbing kelas satu sebelum gurunya masuk ya?” pintaku pada salah satu siswa kelas lima. Dialah Dimas Afriansyah salah satu anak kelas lima yang memiliki bakat menjadi seorang guru teladan. Guru cilik ini begitu semangat ketika ditugaskan untuk membagi ilmunya kepada siapapun, baik kepada adik-adik kelasnya maupun kepada teman-teman seangkatannya. Selain mengajar, guru cilik ini memiliki bakat matematika yang bagus, nilai matematikanya rata-rata di atas 85.

Jam sudah menunjukan pukul 07:05 WIT, bel aku pukul dengan begitu keras, anak-anak berhamburan memenuhi lapangan upacara yang menandakan pagi itu mereka harus mengikuti apel seperti biasa sebelum masuk dan belajar di dalam kelas. seperti biasa pagi itu belum ada guru yang datang. Setelah memberikan sambutan dan semangat pagi untuk anak-anak aku menugaskan kepada kelas enam untuk masuk di kelas tiga dan dua. Kelas lima membimbing adik-adik kelas 1.

Untuk kelas empat saya yang mengisi. Disinilah guru cilik dimas berperan utama dalam memberikan pembelajaran kepada adik-adik kelas dengan semangat yang begitu besar di dalam dirinya. Kegiatan bimbingan ini aku lakukan bukan untuk menggantikan guru-guru mengajar di kelas. Namun aku mengajarkan kepada mereka untuk berbagi ilmu, tanggung jawab, kepedulian dan merasakan perjuangan guru-guru mereka ketika anak-anaknya sulit dikendalikan.

 Walau ada seorang guru yang menganggap konyol hal tersebut saya tidak patah semangat untuk mengisi kekosongan di pagi hari sebelum guru-guru sampai ke sekolah. Disini aku melihat bakat anak-anak yang begitu besar menjadi seorang pengajar dan pemimpin. tak disangka anak pendiam di kelas enam itu begitu berani membimbing adik-adiknya untuk menulis dan belajar berhitung.

Suci itu lah namanya. “paguru hari ini kelas dua pelajaran bahasa indonesia, mereka menulis apa ya?” sapaan suci siswa kelas enam yang mengagetkan ku disaat aku sedang menyiapkan alat tulis. “coba bapak lihat bukunya” akupun menghentikan aktifitas ku dengan mengambil buku yang diberikan suci padaku. “sekarang suci dan teman-teman bimbing kelas dua untuk mencatat materi ini ya, perhatikan hasil tulisan mereka. Jangan lupa kalau sudah ada guru suci kasih tau bapak ya?’’ pintaku padanya sembari memperlihatkan materi yang harus diajarkan. “iya pa, trimakasih, suci masuk dulu ya” jawabnyanya sembari mengambil buku yang aku berikan. Sambil berlari suci masuk ke kelas dua untuk membimbing adik-adiknya. Sebelum saya mengajar di kelas empat, saya mengecek dahulu kegiatan di kelas satu, dua dan tiga yang dibimbing oleh kakak kelasnya. Saya melihat di jendela kaca kegiatan kelas satu.

Saya merasa terkejut ketika melihat dimas berada di depan kelas dengan memegang satu buah lembar karton abjad yang terdiri dari hurup-hurup kapital. Dimas menunjukan abjad-abjad tersebut kepada semua siswa yang ada di dalam kelas itu termasuk teman-temannya. Begitu semangat dan baik performa yang dilakukan dimas dalam membimbing adik kelasnya. Dimas si guru cilik yang membuat aku kagum yang suatu hari nanti cita-cita menjadi guru mudah-mudahan dia dapatkan. Dimas adalah anak pertama dari tiga bersaudara adik-adiknya yang masih berusia balita terkadang membuatnya repot dirumah disaat harus membantu ibunya.

Ayahnya yang jarang pulang karena harus bekerja jauh dari rumah yang datangnya tak menentu. Saya melihat di diri dimas butuh belayan lembut dari seorang ayah. Dia mendambakan pangkuan dan perhatian ayahnya, selain posisiku sebagai guru akupun memposisikan sebagai ayah untuknya, sehingga kerinduan kepada ayahnya sedikit terobati dengan perhatian yang aku berikan. dimas menuliskan beberapa kalimat dengan menggunakan hurup kapital di papan tulis dan menyuruh adik-adik kelansnya untuk menusil. Dengan hati yang begitu lega aku meninggalkan aktifitas pembelajaran di kelas satu.

Ketika melihat di jendela kegiatan kelas dua, suci dengan cekatannya, menuliskan materi yang tadi saya tugaskan untuk ditulis di papan tulis, dan teman-teman suci yang lain membimbing semua siswa untuk menulisnya. “bapak guru ada yang berantem” teriakan itu membuat aku kaget dan dengan sigap aku menghampiri anak tersebut. “sipa yang berantem, di kelas mana?” aku bertanya padanya dengan berjalan menuju arah yang tak menentu dengan memandangi kelas-kelas. “itu pa kelas tiga, si rizki sama jusdi” lapornya dengan jelas saya melangkahkan kaki dengan cepat mengahmpiri kelas itu, terlihat disana jusdi sudah bergelinangan air mata begitupun dengan wajah rizki yang terlihat marah dengan kepalan tangan yang keras. “jusdi dan rizki sini ikut bapak ke kantor” pintaku pada mereka yang dibarengi dengan isakan tangis.

Kelas enam yang aku tugaskan untuk membimbing di kelas tiga belumlah cukup berhasil, karena sudah membuat kegaduhan di dalam kelas. tidak semua siswa memiliki potensi mengajar dan membimbing seperti dimas dan suci. Namun dengan kejadian ini aku sadar mereka adalah siswa-siswa yang memiliki potensi dan bakat-bakat lain. Permasalahan yang dilakukan oleh kedua anak ini hanya sebatas pensil yang patah, akupun mendamaikan mereka kembali dengan memberikan nasihat dan peringatan kepada mereka untuk tidak membuat ribut di dalam kelas. rizki dan jusdipun saya hukum dengan fush up sebanyak 15 kali, hukuman ini bertujuan untuk mengingatkan mereka kalau melakukan kesalahan harus diberikan hukuman, walau tidak semua hukuman membuat jera pada siswa namun setidaknya hukuman menjadikan mereka sadar kalau mereka sudah melakukan kesalahan.

 Jusdi dan rizki saya persilahkan untuk kembali ke kelasnya. Setelah itu saya masuk ke kelas empat. Beberapa menit setelah saya berada di kelas ini, guru-guru mulai berdatangan sehingga ank-anak mulai masuk kelas masing-masing. Dan saya menghentikan pembelajaran di kelas ini. Karena pada hari itu jam pertama ada jadwan mengajar di kelas lima sampai jam istirahat. Pada pukul 08:00 saya masuk ke kelas lima, karena sebagian besar guru-guru sudah berada di sekolah, sehingga tidak ada kelas yang kosong.

 Sebelum masuk ke kelas lima seperti biasa seluruh siswa sudah berada di depan kelas dengan barisan yang rapi, lalu saya menghampiri mereka dengan berdiri tepat di depan barisan itu dan diawali salam tanda siap belajar di hari itu. Dan saya melanjutkan “apa kabar hari ini?” teriaku untuk membukan semangat baru hari itu “Alhamdulilah, Luar biasa, eeeea, eeea mantap” teriak mereka bersama sembari menggerakan tangannya seperti alhamdulilah mengangkat kedua tangan ke atas, luar biasa mengangkat tangan membentuk lingkaran, eeeea menggelombangkan kedua tangan kekiri dan ke kanan seperti membuat gelombang ombak, dan mantap menunjukan kedua jempolnya ke depan.

Akupun melanjutkan dengan bertanya selamat pagi dan yel-yel yang lain dan merekapun selalu menjawabnya dengan antusias dan penuh semangat. Seperti biasa dimas selaku ketua kelas memimpin doa sebelum belajar. Setelah selesai saya mengecek kehadiran siswa dengan bertanya kepada mereka siswa yang tidak hadir dihari itu. Dan alhamdulilah hari ini semuanya masuk.

Dengan sedikit semangat lewat tepuk-tepuk yang sudah diajarkan saya mempersilahkan kepada mereka untuk masuk ke dalam kelas dengan mengecek kerapihan dan kebersihan kuku. Pada hari ini materi yang saya sampaikan tentang mencari luas dan volume bangun ruang. Saya mengajar di MIN Poleang Barat, Kecamatan Poleang Barat, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Mimpi yang tak pernah terjadi bisa menggunakan tekhnologi di sekolah ini, seperti mengajar menggunakan invokus, senam menggunakan sound sistem atau leb komputer yang bisa memberikan wawasan kepada siswa.

Karena desa ini belum mendapatkan aliran listrik dari pemerintah, maka dari itu guru harus benar-benar kreatif untuk mempersiapkan pembelajaran di dalam kelas. Selesai saya menyampaikan materi ini. display yang sudah saya buat satu minggu yang lalu, anak-anak pun ditugaskan perkelompok untuk menghitung dan mencari volume bangun ruang berupa balok dan tabung. “ anak- anak sekarang kalian cari luas dan volume tabung dan balok yang kalian temukan di lingkungan sekolah. Setiap kelompok harus mencari dua tabung dan dua balok” perintahku kepada anak-anak yang sudah membuat kelompok di minggu yang lalu.

Kelompok ini terbentuk semenjak token ekonomi diberlakukan di awal. Dengan token ekonomi ini semangat belajar mereka begitu meningkat. Semua kelompok saling bertanding untuk mendapatakan bintang yang paling banyak “pa guru benda yang berupa tabung dan baloknya dicatat saja apa harus dibawa ke dalam kelas?” tanya salah satu siswa “yang bisa dibawa boleh dibawa, untuk yang tidak bisa seperti kolam, tembok boleh dicatat saja.

 Ada yang mau bertanya lagi sebelum bapa mulai?” jawabku dengan singkat “tidak pa?” serentak mereka menjawab dengan semangat yang besar untuk merebutkan juara. “hitungan tiga dimulai. Satu, dua, tiga, mulai” perintahku pada mereka Seluruh siswa berhamburan ke luar kelas untuk mencari benda-benda yang aku tugaskan. Ada yang kelompoknya mencari botol-botol ada yang mengukur tempat duduk, ada yang mengukur kolam ikan, ada juga yang mengukur pegangan pintu.

Semua mereka lakukan dengan cepat dan kerjasama yanng baik. Walau terdapat siswa yang malas bekerja namun kemalasan itu hilang ketika dalam kelompok tersebut saling mengingatkan. Waktu telah selesai. Semua siswa masuk ke dalam kelas. saya mengecek hasil kerja mereka . waktu pemberian bintang sudah tiba, rasa penasaran terlihat di guratan kening mereka. dan akhirnya kelompok tabung yang menjadi juaranya di hari itu, sekornya 80 sehingga kelompok ini berhak mendapatkan tambahan lima bintang.

Nama kelompok disetiap pembelajaran sering saya ubah walau anggota kelompoknya masih sama. Nama kelompok ini mengambil dari materi yang sedang saya ajarkan. Dengan begitu mereka mudah mengingatnya. Proses pembelajaranpun telah selesai, setelah semua kelompok menempelkan hasil kerjanya di display yang ada di papan displai saya menutup pembelajaran hari itu di kelas lima. Enam bulan sudah aku berada disini, keterbatasan signal dan listrik tidak membuat halangan untukku memberikan yang terbaik selagi aku mampu. walau terkadang itu membuat hambatan namun aku yakin itu semua bisa aku lalui dengan mudah.

Menjadi guru di pelosok bukan perkara yang mudah. namun membutuhkan kreatifitas dan modal besar untuk berada di sini. Saya bangga kepada guru-guru yang ikhlas mengabdi walau gaji mereka habis di perjalana, karena jarak rumah guru-guru begitu jauh dengan sekolah. Dengan tekat yang kuat untuk mendidik anak bangsa mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan keluarga untuk masa depan indonesia. Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam indonesia, saya bisa, saya bisa, insyaallah

Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia - Dompet Dhuafa
MENEMUKAN PEMBELAJARAN DI KELAS RANGKAP AMSALU Oleh : Suhendra Saputra S.Pd Namaku Suhendra, aku seorang relawan pendidikan yang ditugaskan oleh Sekolah Guru Indonesia menjadi pengajar muda yang saat ini ditugaskan di kabupaten bombana, tepatnya disalah satu desa yang bernama Bulumanai. Setengah tahun sudah masa purnama berlalu. Masyarakat yang mayoriutas berasal dari sulawesi selatan atau bulukumba dengan suku bugisnya. Disinilah aku tinggal disebuah desa yang begitu jauh dari pusat kabupaten. Tak heran kalau berkunjung ketempat ini begitu gelap di malam hari, karna sampai saat ini belum masuk listrik dari pemerintah. Setengah purnama sudah aku berada disini, selama ini aku ditugaskan di sebuah sekolah negri tepatnya di ujung perkampungan yang bernamakan MIN Poleang barat, disinilah aku ditugaskan oleh SGI untuk menjadi pengajar muda. Dikarnakan jam pelajaran yang ditugaskan oleh sekolah tidak terlalu banyak maka aku mencari tambahan jam pelajaran disekolah lain, Amsalu itulah sekolah sasaranku. Sekolah Madrasah tsanawiah yang didirikan 6 tahun yang lalu ini sudah terlihat rapuh, kayu yang menghiasi dinding dan daun sagu yang menutupi atapnya, berukuran 6 x 6 meter yang dibagi kedalam tiga kelas yang dihiasi oleh satu rak buku yang begitu kecil, ketiga papan tulis yang ada disetiap kelas menjadikan kelas ini hidup walau kursi yang diduduki selalu membuat tangan dan kaki terluka akibat tusukan paku yang menonjol, terkadang tidak jarang mereka terjatuh akibat tidak kuatnya kursi panjang yang menampung lima siswa. MTs Amsalu itulah sekolahku. Cat warna biru putih yang menghiasi sekeliling sekolah ini membuat kami yakin disinilah harapan itu ada. Bendera merah putih yang sudah sobek bawahnya selalu berkibar yang menandakan kami berada disini. Kata orang yang melihat sekolah kami lebih jelek dari sekolah laskar pelangi, namun disinilah kami memiliki harapan besar untuk menjadi manusia yang berguna dan meraih cita-cita, walau tidak banyak yang belajar disini. Sekolah kami terdapat lima siswa di kelas satu, dua belas siswa dikelas dua dan sembilan siswa di kelas tiga. Disekolah inilah sebenarnya aku pantas ditempatkan, hanya satu hari dalam seminggu aku mengajar disekolah ini. Awal pertama kali aku melihat harapan pada bola mata anak-anak amsalu membuatku terbersit untuk menjadi salah satu bagian pengajar mereka. Tanpa pertimbangan dan berfikir panjang aku langsung menemui kepala sekolah, dan langsung saja beliau menerimaku untuk mengajar pelajaran matematika di sini. Dengan hati yang senang akupun menerima tawarannya. Pada pertemuan pertama aku mengadakan outbond di depan halaman sekolah, mulai dari permainan individu sampai kelompok aku adakan, gelak tawa dan kekecewaan karna kelompoknya dikalahkan oleh kelompok lain menghiasi suasana hari pertamaku. Disaat itulah aku mulai mengenal mereka. Siswa amsalu yang penuh harapan dan semangat belajar yang tinggi. Hari berikutnya semakin banyak siswa yang hadir disekolah dibandinng hari pertama. Aku merasa senang dengan kedatangan wajah-wajah baru disekolah. Ketika mereka ditanya “kenapa hari ini sekolah?” mereka menjawab “saya ingin tahu guru baru yang kata teman-teman seru mengajarnya”. Dari jawaban singkat itu menjadikan aku berfikir keras untuk tidak membuat kecewa mereka. Hari itu mulailah proses pembelajaran. Aku memegang pelajaran matematika, namun sudah jam delapan belum ada juga guru yang hadir. Aku merasa aneh ada apa ini? Ketika aku bertanya kepada muridnya “isra mengapa jam segini belum ada guru yang hadir?” anak inipun menjawab “dalam satu hari kami diajar oleh dua guru, jadi kalau satu tidak hadir maka ada satu lagi yang mengajar kami semua, kalau tidak ada yang hadir paling kami belajar sendiri pa”. jawaban itu membuat hatiku gundah dan berfikir keras untuk menjadi pengajar yang sebenarnya. Walau di Sekolah Guru Indonesia aku tidak diajarkan memegang kelas rangkap apalagi sekaligus tiga kelas dengan siswa yanng sudah remaja aku meski mencari referensi dan sharing dengan guru-guru disini untuk mengajar mereka. Tak terasa enam bulan sudah aku mengajar mereka dengan dua pelajara, pelajaran fikih itulah pelajaran tambahanku disaat guru yang memegang pelajaran ini tidak hadir di sekolah. Enam bulan sudah aku terbiasa memegang kelas rangkap dengan pelajaran yang berbeda, utungnya jadwal pelajaran disekolah ini dibuat sesuai kondisi sekolah bukan jadwal standar pemerintah, pagi hari sebelum istirahat satu pelajaran dan siang setelah istirahat satu pelajaran lagi. untungnya dari kelas satu sampai kelas tiga dihari kamis hanya ada dua pelajaran yaitu matematika dan fikih Pagi hari saya menginstruksikan kepada seluruh siswa untuk berdoa bersama yang dipimpin oleh setiap KM dikelasnya, setelah berdoa sayang masuk terlebih dahulu di kelas tiga, hanya butuh tiga menit saya menginstruksikan kelas ini untuk menulis terlebih dahulu pelajaran fikih dan membacanya setelah selesai sebelum saya jelaskan. setelah itu saya masuk di kelas dua untuk mengajar matematika, dalam waktu itu saya membiarkan kelas satu menunggu sebentar sebelum saya masuk kelas mereka. setelah penjelas materi kurang lebih 15 menit tugas pun saya berikan di kelas ini. Disaat itulah kesempatan saya untuk mengajar di kelas satu, penjelasan pembelajaran matematikapun dimulai sampai tugas diberikan, namun tugas dikelas dua belum selesai, maka disaat itu aku masuk ke kelas tiga untuk menjelaskan materi fikih yang sudah mereka tulis dan baca sebelumnya. Setelah selesai menjelaskan akupun memberikan soal yang harus di sisi dengan pendapat mereka, disaat itualah aku kembali mengecek kelas dua dan satu. Setelah selesai pembelajaran jampun sudah menunjukan pukul 09:30 seluruh siswa aku persilahkan untuk istirahat. Disaat itulah terkadang aku merasa jenuh mau tidak mau jurus penghilang jenuh yaitu bermain dan mengambil buah kenari aku lakukan bersama anak-anak. Setelah lama kami makan bersama dan ada juga yang pergi ke warung, jampun menunjukan pukul 10:15 aku mempersilahkan seluruh siswa untuk masuk dan mulai kembali mengajar mereka. Itulah yang dilakukan saya selama 6 bulan sudah berada disini. Terkadang saya sadar yang dilakuka itu salah, tidak ada RPP yang saya buat, tidak adanya alat peraga yang bisa menunjang, tidak maksimalnya mengajar, tidak adanya bimbingan yang intens kepada mereka disaat mengadakan evaluasi, karena saya tidak tahu cara yang tepat memegang kelas rangkap ini dengan sempurna, dibalik ini semua saya mendapatkan arti pembelajaran yang sesungguhnya. Saya sadar sekolah bukan sekadar mentransper ilmu atau mendidik para siswa untuk menjadi lebih baik. Namun sekolah memiliki peran yang begitu besar pada kualitas hidup masyarakat dan daerah setempat, maka dengan situasi di atas saya tidak mengharapkan adanya gedung baru, adanya fasilitas yang menunjang, adanya invokus dan listrik yang bisa memberikan informasi yang real dan memudahkan proses pembelajaran, namun saya hanya butuh seorang guru, guru yang mau mendidik, guru yang mau mengajar dan guru yang berani untuk tidak di gaji. Iya tidak di gaj, Karena guru yang mengabdi di sekolah ini guru yang rela berkorban tanpa timpal balik. Maka pantas kalau sekolah ini tidak begitu banyak guru yang mengajar. Saya melihat peran pemerintah dalam membimbing dan mengayomi sekolah-sekolah suasta belum kerap menjadi tanggung jawab yang besar seperti mereka mengayomi sekolah negri. Padahal sekolah negri sudah memiliki banyak fasilitas, kualitas guru yang cukup menunjang dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Namun disisi lain sekolah suasta kerap menjadi anak tiri yang selalu di caci dan dimaki, sedikit ada bantuan para perakus dan tikus-tikus merongrong meminta jatah. Namun disisi lain tangisan dan wajah-wajah penghuni gedung rapuh ini begitu tragis disaat mereka teriak minta tolong untuk diselamatkan dari kebodohan. Memang tragis, namun apa daya sekolah suasta belum menjadi istana bagi para siswa dalam mengenyam pendidikan di dalamnya. Untuk itu mari bersama kita selamatkan para generasi bangsa kita dalam mengenyam pendidikan. Bukan hanya sekolah suasta, atau sekolah yang ada di daerah terpencil saja yang kurang dengan jumlah guru, namun anak-anak kita yang terkadang malas untuk pergi sekolah dan tergerus oleh dampak media yang menayangkan tontonan yang tidak mendidik. Maka sebagai orang tua kita selayaknya menjaga dan memperhatikan perkembangan pendidikan mereka. Karena dari pendidikanlah yang mampu meningkatkan mutu dan tarah hidup seseorang menjadi lebih baik. Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia- Dompet Dhuafa