Monday, May 16, 2016

MENEMUKAN PEMBELAJARAN DI KELAS RANGKAP AMSALU Oleh : Suhendra Saputra S.Pd Namaku Suhendra, aku seorang relawan pendidikan yang ditugaskan oleh Sekolah Guru Indonesia menjadi pengajar muda yang saat ini ditugaskan di kabupaten bombana, tepatnya disalah satu desa yang bernama Bulumanai. Setengah tahun sudah masa purnama berlalu. Masyarakat yang mayoriutas berasal dari sulawesi selatan atau bulukumba dengan suku bugisnya. Disinilah aku tinggal disebuah desa yang begitu jauh dari pusat kabupaten. Tak heran kalau berkunjung ketempat ini begitu gelap di malam hari, karna sampai saat ini belum masuk listrik dari pemerintah. Setengah purnama sudah aku berada disini, selama ini aku ditugaskan di sebuah sekolah negri tepatnya di ujung perkampungan yang bernamakan MIN Poleang barat, disinilah aku ditugaskan oleh SGI untuk menjadi pengajar muda. Dikarnakan jam pelajaran yang ditugaskan oleh sekolah tidak terlalu banyak maka aku mencari tambahan jam pelajaran disekolah lain, Amsalu itulah sekolah sasaranku. Sekolah Madrasah tsanawiah yang didirikan 6 tahun yang lalu ini sudah terlihat rapuh, kayu yang menghiasi dinding dan daun sagu yang menutupi atapnya, berukuran 6 x 6 meter yang dibagi kedalam tiga kelas yang dihiasi oleh satu rak buku yang begitu kecil, ketiga papan tulis yang ada disetiap kelas menjadikan kelas ini hidup walau kursi yang diduduki selalu membuat tangan dan kaki terluka akibat tusukan paku yang menonjol, terkadang tidak jarang mereka terjatuh akibat tidak kuatnya kursi panjang yang menampung lima siswa. MTs Amsalu itulah sekolahku. Cat warna biru putih yang menghiasi sekeliling sekolah ini membuat kami yakin disinilah harapan itu ada. Bendera merah putih yang sudah sobek bawahnya selalu berkibar yang menandakan kami berada disini. Kata orang yang melihat sekolah kami lebih jelek dari sekolah laskar pelangi, namun disinilah kami memiliki harapan besar untuk menjadi manusia yang berguna dan meraih cita-cita, walau tidak banyak yang belajar disini. Sekolah kami terdapat lima siswa di kelas satu, dua belas siswa dikelas dua dan sembilan siswa di kelas tiga. Disekolah inilah sebenarnya aku pantas ditempatkan, hanya satu hari dalam seminggu aku mengajar disekolah ini. Awal pertama kali aku melihat harapan pada bola mata anak-anak amsalu membuatku terbersit untuk menjadi salah satu bagian pengajar mereka. Tanpa pertimbangan dan berfikir panjang aku langsung menemui kepala sekolah, dan langsung saja beliau menerimaku untuk mengajar pelajaran matematika di sini. Dengan hati yang senang akupun menerima tawarannya. Pada pertemuan pertama aku mengadakan outbond di depan halaman sekolah, mulai dari permainan individu sampai kelompok aku adakan, gelak tawa dan kekecewaan karna kelompoknya dikalahkan oleh kelompok lain menghiasi suasana hari pertamaku. Disaat itulah aku mulai mengenal mereka. Siswa amsalu yang penuh harapan dan semangat belajar yang tinggi. Hari berikutnya semakin banyak siswa yang hadir disekolah dibandinng hari pertama. Aku merasa senang dengan kedatangan wajah-wajah baru disekolah. Ketika mereka ditanya “kenapa hari ini sekolah?” mereka menjawab “saya ingin tahu guru baru yang kata teman-teman seru mengajarnya”. Dari jawaban singkat itu menjadikan aku berfikir keras untuk tidak membuat kecewa mereka. Hari itu mulailah proses pembelajaran. Aku memegang pelajaran matematika, namun sudah jam delapan belum ada juga guru yang hadir. Aku merasa aneh ada apa ini? Ketika aku bertanya kepada muridnya “isra mengapa jam segini belum ada guru yang hadir?” anak inipun menjawab “dalam satu hari kami diajar oleh dua guru, jadi kalau satu tidak hadir maka ada satu lagi yang mengajar kami semua, kalau tidak ada yang hadir paling kami belajar sendiri pa”. jawaban itu membuat hatiku gundah dan berfikir keras untuk menjadi pengajar yang sebenarnya. Walau di Sekolah Guru Indonesia aku tidak diajarkan memegang kelas rangkap apalagi sekaligus tiga kelas dengan siswa yanng sudah remaja aku meski mencari referensi dan sharing dengan guru-guru disini untuk mengajar mereka. Tak terasa enam bulan sudah aku mengajar mereka dengan dua pelajara, pelajaran fikih itulah pelajaran tambahanku disaat guru yang memegang pelajaran ini tidak hadir di sekolah. Enam bulan sudah aku terbiasa memegang kelas rangkap dengan pelajaran yang berbeda, utungnya jadwal pelajaran disekolah ini dibuat sesuai kondisi sekolah bukan jadwal standar pemerintah, pagi hari sebelum istirahat satu pelajaran dan siang setelah istirahat satu pelajaran lagi. untungnya dari kelas satu sampai kelas tiga dihari kamis hanya ada dua pelajaran yaitu matematika dan fikih Pagi hari saya menginstruksikan kepada seluruh siswa untuk berdoa bersama yang dipimpin oleh setiap KM dikelasnya, setelah berdoa sayang masuk terlebih dahulu di kelas tiga, hanya butuh tiga menit saya menginstruksikan kelas ini untuk menulis terlebih dahulu pelajaran fikih dan membacanya setelah selesai sebelum saya jelaskan. setelah itu saya masuk di kelas dua untuk mengajar matematika, dalam waktu itu saya membiarkan kelas satu menunggu sebentar sebelum saya masuk kelas mereka. setelah penjelas materi kurang lebih 15 menit tugas pun saya berikan di kelas ini. Disaat itulah kesempatan saya untuk mengajar di kelas satu, penjelasan pembelajaran matematikapun dimulai sampai tugas diberikan, namun tugas dikelas dua belum selesai, maka disaat itu aku masuk ke kelas tiga untuk menjelaskan materi fikih yang sudah mereka tulis dan baca sebelumnya. Setelah selesai menjelaskan akupun memberikan soal yang harus di sisi dengan pendapat mereka, disaat itualah aku kembali mengecek kelas dua dan satu. Setelah selesai pembelajaran jampun sudah menunjukan pukul 09:30 seluruh siswa aku persilahkan untuk istirahat. Disaat itulah terkadang aku merasa jenuh mau tidak mau jurus penghilang jenuh yaitu bermain dan mengambil buah kenari aku lakukan bersama anak-anak. Setelah lama kami makan bersama dan ada juga yang pergi ke warung, jampun menunjukan pukul 10:15 aku mempersilahkan seluruh siswa untuk masuk dan mulai kembali mengajar mereka. Itulah yang dilakukan saya selama 6 bulan sudah berada disini. Terkadang saya sadar yang dilakuka itu salah, tidak ada RPP yang saya buat, tidak adanya alat peraga yang bisa menunjang, tidak maksimalnya mengajar, tidak adanya bimbingan yang intens kepada mereka disaat mengadakan evaluasi, karena saya tidak tahu cara yang tepat memegang kelas rangkap ini dengan sempurna, dibalik ini semua saya mendapatkan arti pembelajaran yang sesungguhnya. Saya sadar sekolah bukan sekadar mentransper ilmu atau mendidik para siswa untuk menjadi lebih baik. Namun sekolah memiliki peran yang begitu besar pada kualitas hidup masyarakat dan daerah setempat, maka dengan situasi di atas saya tidak mengharapkan adanya gedung baru, adanya fasilitas yang menunjang, adanya invokus dan listrik yang bisa memberikan informasi yang real dan memudahkan proses pembelajaran, namun saya hanya butuh seorang guru, guru yang mau mendidik, guru yang mau mengajar dan guru yang berani untuk tidak di gaji. Iya tidak di gaj, Karena guru yang mengabdi di sekolah ini guru yang rela berkorban tanpa timpal balik. Maka pantas kalau sekolah ini tidak begitu banyak guru yang mengajar. Saya melihat peran pemerintah dalam membimbing dan mengayomi sekolah-sekolah suasta belum kerap menjadi tanggung jawab yang besar seperti mereka mengayomi sekolah negri. Padahal sekolah negri sudah memiliki banyak fasilitas, kualitas guru yang cukup menunjang dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Namun disisi lain sekolah suasta kerap menjadi anak tiri yang selalu di caci dan dimaki, sedikit ada bantuan para perakus dan tikus-tikus merongrong meminta jatah. Namun disisi lain tangisan dan wajah-wajah penghuni gedung rapuh ini begitu tragis disaat mereka teriak minta tolong untuk diselamatkan dari kebodohan. Memang tragis, namun apa daya sekolah suasta belum menjadi istana bagi para siswa dalam mengenyam pendidikan di dalamnya. Untuk itu mari bersama kita selamatkan para generasi bangsa kita dalam mengenyam pendidikan. Bukan hanya sekolah suasta, atau sekolah yang ada di daerah terpencil saja yang kurang dengan jumlah guru, namun anak-anak kita yang terkadang malas untuk pergi sekolah dan tergerus oleh dampak media yang menayangkan tontonan yang tidak mendidik. Maka sebagai orang tua kita selayaknya menjaga dan memperhatikan perkembangan pendidikan mereka. Karena dari pendidikanlah yang mampu meningkatkan mutu dan tarah hidup seseorang menjadi lebih baik. Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia- Dompet Dhuafa

No comments:

Post a Comment