Thursday, September 21, 2017

Literasi di Pelosok Negri

Literasi di Pelosok Negeri

Oleh :  Suhendra S, S.Pd

“Pak Guru, ada yang berantem di sana!” teriak Elsih dengan keras.

“Siapa yang berantem, Elsih?” tanyaku. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera menghampiri kerumunan di pojok sekolah.

Tampak Sahrudin memukuli Evan dengan begitu kerasnya, dengan cepat kutarik tangan Sahrudin. Mata Sahrudin menatap tajam Evan. Keduanya segera kubawa ke kantor.  

“Mengapa kalian pagi-pagi sudah berantem?” tanyaku pada mereka.

“Sahrudin menyembunyikan bukuku Pak,” jawab Evan dengan terisak.

Setelah memberikan sedikit nasihat, aku mendorong keduanya untuk berdamai dan saling memaafkan. Sebagai hukuman akibat melanggar peraturan, keduanya diharuskan membuat tulisan “saya tidak akan berantem lagi” sebanyak 10 kali.

Sahrudin kupersilahkan masuk ke kelas. Sedangkan Evan tetap bersamaku. Ada hal yang hendak kugali darinya. Kesempatan ini tidak ingin kusia-siakan begitu saja. Banyak pertanyaan yang kuajukan pada Evan, baik tentang keluarga, kegiatan di rumah, maupun kesukaannya.

Evan yang sering jadi buah bibir disekoalahku ini dikenal sebagai siswa yang belum dapat membaca. Padahal, dia sudah berada di kelas 3 MIN 1 Bombana, Kabupaten Bombana, Sulawesi tenggara.

Awal perkenalan dengan anak ini dimulai dari perbincangan kecil para guru.
“Menurut saya, Evan itu pantasnya dimasukan ke sekolah luar biasa,” ucap salah satu guru ketika kami sedang memperbincangkannya.

Mendengar ucapan tersebut aku merasa lemas seketika. Hatiku terbakar, entah kenapa. guru tersebut belum tahu diri Evan yang sebenarnya, namun berkata kurang patut menurutku.

Sekolah kami merupakan sekolah yang berada di perbatasan Kabupaten, sehingga akses ke pusat kota sulit dilakukan. Berkat dukungan dari kepala sekolah, aku tidak patah semangat untuk melakukan perubahan di sekolah ini. Masalahan yang dihadapi Evan menginspirasiku agar tidak ada lagi anak yang tidak dapat membaca, akhirnya munculah ide sebuah gerakan membaca yang kelak dinamakan GELAS (Gerakan Literasi Sekolah).

GELAS bertujuan untuk menumbuhkan minat baca dan menulis anak-anak, dimana sejak pertama kali aku berada di sini, perpustakaan sekolah hanya menjadi sebuah gudang buku yang tak pernah dibuka dan dilihat. Dengan kondisi itulah aku berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik untuk gerakan ini, agar minat baca mereka tumbuh dengan kesadaran sendiri.

Aku berpikir keras agar gerakan ini disukai oleh semua kalangan, baik rekan-rekan guru, orangtua maupun siswa. Untuk menyukseskan gerakan ini, aku bekerjasama dengan siswa kelas 6. Dibawah bimbinganku, merekaku berikan kepercayaan untuk mengelola semua gerakan ini, mulai dari memilih buku, menyiapkan meja, hadiah, sampai dengan kostum yang mereka kenakan. Kepercayaan ini aku berikan untuk mengajarkan mereka keberanian dan kemandirian.

Siswa kelas 6 pun sudah siap menyambut para pembaca, mereka menyediakan buku-buku yang di pajang di depan kelas. Setiap siswa memilih buku yang ingin mereka baca, dengan waktu 15 menit anak-anak membaca di lingkungan sekolah, ada yang membaca di dalam kelas, di koridor sekolah, di taman, bahkan di bawah pohon.

Sedangkan bagi anak-anak yang belum dapat membaca seperti Evan, aku merancang sebuah kegiatan agar belajar membaca terasa menyenangkan. Kegiatan yang aku buat seperti mendongeng dengan menggunakan boneka tangan, membuat huruf menggunakan lilin warna, tetab-tebakan menyambung kata dan lain sebagainya. 

Hasil positif yang kami peroleh dari gerakan ini adalah semakin banyaknya siswa yang masuk ke perpustakaan untuk membaca atau bermain alat-alat peraga yang ada di perpustakaan. Disamping itu ada beberapa siswa yang meminjam buku sekolah untuk dibaca di rumahnya, serta pengetahuan mereka pun semakin bertambah.

Gerakan literasi hari ini sudah selesai, waktunya anak-anak belajar di kelas. Guru kelas 3 ternyata izin tidak masuk. Karena jam pertama dan kedua tidak ada jadwal mengajar, aku pun berinisiatif menggantikannya. Ada kesempatan lagi untuk mengenal jauh Evan.

“Anak-anak apa yang Bapak pegang ini?” tanyaku setelah mengucapkan salam, berdoa bersama dan yel-yel semangat.

“Uang sepuluh ribu, Pak!” serentak mereka menjawab.

“Hari ini kita akan belajar tentang apa ya?” aku merangsang imajinasi mereka dengan pertanyaan.

Ada yang menjawab tentang pasar, bank, belanja, atau uang.
“Menurut Evan, hari ini kita mau belajar pelajaran apa  ya, Nak?” tanyaku pada Evan, yang duduk di sudut kelas.

Detak jantungku berdegup kencang menunggu jawabannya.
“Matematika, Pak” jawabnya dengan nada malu.

“Wah jawaban Evan benar, tepuk heba!.” Akupun memberi apresiasi kepadanya bersama seluruh siswa

“ Waaaaaw hebat!”  jawab serempak teman-temannya dengan memberikan dua jempol kepada Evan.

“Hari ini kita belajar matematika, silahkan bukunya disiapkan,” perintahku pada siswa.
Aku membagi siswa ke dalam empat kelompok, setiap kelompok akan berkopetisi untuk mendapatkan juara.

“Waduh satu kelompok sama Evan. Pak dia dongo, saya gak mau satu kelompok sama dia,” protes Rizki.

“Rizki, ini sudah ketentuan permainan, siapa pun anggotanya itulah kelompok kalian,” sergahku.

Setelah pembahasan cara menulis nominal uang rupiah dengan benar, aku mengadakan kompetisi di setiap kelompok. Setelah siswa-siswa yang lain bergantian ke papan tulis, giliran Evan yang maju.

“Pasti si dongo salah,” ejek Rizki dihadapan teman-temannya.

“Rizki sekali lagi kamu mengatakan itu, Bapak akan hukum kamu,” ancamku dengan memendam dongkol di hati.

Memang benar yang dibicarakan selama ini tentang Evan. Aku menyaksikan langsung dia memang belum bisa membaca. jangankan membaca, huruf saja dia belum tahu.

Untuk mencari tahu masalah Evan yang sebenarnya, kugali beberapa informasi dari berbagai sumber. Sampai akhirnya aku berkesimpulan bahwa Evan mengalami disleksia. Awalnya aku bingung harus berbuat apa. Tapi, setelah memetik inspirasi dari film tentang anak disleksia yang ada di laptopku, aku percaya Evan bisa sembuh.

“Evan, mau tidak bermain dengan Bapak?” tawaranku padanya suatu ketika.

“Bermain apa, Pak?” jawabnya dengan penuh senyuman

“Main ular tangga,” balasku

Aku membuat ular tangga ini hasil mencari tahu apa kesukaan Evan. Kebetulan saat itu anak-anak sedang hobi bermain ular tangga, aku menciptakan ular tangga dengan memodifikasi ular tangga yang biasa anak-anak mainkan. Agar tidak sulit untuk mereka mainkan, aku hanya mengubah sedikit aturan untuk memainkannya.

Bahan dan alat yang diperlukan adalah kertas karton, gambar-gambar (hewan, tumbuhan atau benda) lem, gunting, pensil, spidol warna, penggaris, pulpen dan lem pelastik.

Untuk membuatnya, Pertama aku memotong kertas karton dengan ukuran 30 x 60 sentimeter. Lalu karton diberi garis lurus vertikal dan horizontal hingga menghasilkan kotak sejumlah 100 buah. Di kotak-kotak inilah kutempelkan gambar-gambar yang keduanya saling berhubungan. Gambar-gambar tersebut kemudian disatukan oleh ular dan tangga.

Setelah selesai, aku menuliskan perkalian di delapan kotak yang ada di sana, seperti 3x4, 5x2, 2x4. Lalu menuliskan nomor 1-9 dan dilanjutkan dengan abjad dari A sampai Z. Setelah itu, ditutup dengan lem pelastik agar kertas tidak terkena air atau mudah sobek. 

Aturan main dalam permainan ular tangga ini sebagai berikut : ketika mengenai kotak mana pun,  siswa harus mengucapkan huruf atau angka yang berada di kotak tersebut. Jika tidak bisa, maka dia harus turun satu langkah. Saat posisi penjumlahan, pengurangan ataupun perkalian, siswa yang mampu menjawab bisa naik sebanyak tiga langkah. Apabila salah menjawab, maka dia harus turun kembali sebanyak tiga langkah.

Permainan pun dimulai, Evan melemparkan dadu tersebut. Muncullah angka 5 pada dadunya. Dia pun perlahan menggeserkan pionnya dengan dibarengi hitungan 1 sampai 5.

“Lima, Pak” teriaknya.

Sekarang giliranku melemparkan dadu. Muncullah angka enam pada dadu. Aku  menggeserkan perlahan agar Evan terbiasa dengan angka-angka ini. Kebetulan pionku berada di posisi yang menunjukan tangga. Pion pun naik melangkah. Karena yang keluar angka 6, aku melemparkan dadu kembali dan diperolehlah angka 3. Perlahan pion pun kugeser hingga berhenti di huruf K. 

Giliran Evan yang berikutnya melemparkan dadu. Permainan semakin seru. Beberapa huruf yang dilewati, ternyata belum Evan ketahui, yaitu B, D, P, F, N dan M. Evan juga belum bisa membedakan huruf kapital dan huruf kecil. Ketika mengetahui huruf B (kapital), dia tidak tahu hurup b yang kecil. Perbedaan huruf kapital dan kecil ini membingungkan dirinya. Sama halnya saat ia kesulitan membedakan huruf P dan F.

Dari informasi yang kuperoleh, disleksia bisa diatasi dengan banyak cara. Selain menggunakan ular tangga, aku aku biasa membawa lilin-lilin warna untuk membuat huruf. Cerita juga kerap kupakai untuk mengenalkan huruf. Gambar-gambar berhuruf kujadikan sebagai nama tokoh cerita.

Tanpa terasa, satu bulan sudah aku menangani Evan, Dia sudah mengetahui huruf-huruf. Tinggal mengajarinya untuk menyambungkan kata per karta. Karena ada banyak aktivitas lain yang juga penting, kukurangi porsi mendampingi Evan di luar sekolah. Tentu saja aku sebenarnya tidak ingin kemajuan yang sudah dicapai Evan terhenti tiba-tiba. Sebuah carapun sudah kupikirkan : ular tangga buatanku kuberikan kepadanya untuk dibawa ke rumah. Dengan ular tangga ini aku berharap dia tetap bermain bersama teman-temannya sambil secara tidak langsung belajar mengenal huruf. 

Suatu hari saat aku mengajar di kelas 1, mataku tak sengaja melihat Evan yang sedang memperhatikanku. Tepatnya memerhatikan huruf-huruf yang kutuliskan di papan tulis. Huruf-huruf itu berisikan perintah pada anak-anak. Lamat-lamat kudengar suara Evan turut membaca. Hatiku langsung bungah melihat kemajuan Evan.

Selesai mengajar siswa kelas satu, aku segera memanggil Evan. Kusodorkan kertas dengan satu kalimat pendek di atasnya. Dengan terbata-bata Evan membaca kata demi kata kalimat tersebut. Hatiku kembali bahagia dan terharu melihat Evan sudah bisa membaca walau masih terbata-bata.

Evan hanya salah satu dari sekian anak spesial yang pernah kutemui. Mereka butuh perhatian dan kasih sayang pendidikan, dan bukan sebaliknya, yakni menerima bentakan, ejekan, dan hinaan. Apabila psikologi anak-anak itu labil dan rapuh, lingkungan sekolah berpotensi menghancurkan mereka dengan cepat.


Bukan hanya Evan dan beberapa temannya yang masih kesulitan dalam membaca dan menulis, masih terdapat ribuan anak Indonesia yang membutuhkan perhatian kita. Hal ini menjadi perhatian kita bersama untuk memajukan pendidikan Indonesia yang lebih baik, salah satu kemajuan tersebut dengan Gerakan Literasi Sekolah. Karena dengan gerakan ini banyak perubahan-perubahan yang lebih baik yang dirasakan oleh siswa, guru maupun sekolah. Mari kita konsisten dan terus berinovasi menciptakan suasana literasi yang menyenangkan.