Literasi
di Pelosok Negeri
Oleh
: Suhendra S, S.Pd
“Pak
Guru, ada yang berantem di sana!” teriak Elsih dengan keras.
“Siapa
yang berantem, Elsih?” tanyaku. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera menghampiri
kerumunan di pojok sekolah.
Tampak
Sahrudin memukuli Evan dengan begitu kerasnya, dengan cepat kutarik tangan
Sahrudin. Mata Sahrudin menatap tajam Evan. Keduanya segera kubawa ke kantor.
“Mengapa
kalian pagi-pagi sudah berantem?” tanyaku pada mereka.
“Sahrudin
menyembunyikan bukuku Pak,” jawab Evan dengan terisak.
Setelah
memberikan sedikit nasihat, aku mendorong keduanya untuk berdamai dan saling
memaafkan. Sebagai hukuman akibat melanggar peraturan, keduanya diharuskan
membuat tulisan “saya tidak akan berantem lagi” sebanyak 10 kali.
Sahrudin
kupersilahkan masuk ke kelas. Sedangkan Evan tetap bersamaku. Ada hal yang
hendak kugali darinya. Kesempatan ini tidak ingin kusia-siakan begitu saja.
Banyak pertanyaan yang kuajukan pada Evan, baik tentang keluarga, kegiatan di rumah,
maupun kesukaannya.
Evan
yang sering jadi buah bibir disekoalahku ini dikenal sebagai siswa yang belum
dapat membaca. Padahal, dia sudah berada di kelas 3 MIN 1 Bombana, Kabupaten
Bombana, Sulawesi tenggara.
Awal
perkenalan dengan anak ini dimulai dari perbincangan kecil para guru.
“Menurut
saya, Evan itu pantasnya dimasukan ke sekolah luar biasa,” ucap salah satu guru
ketika kami sedang memperbincangkannya.
Mendengar
ucapan tersebut aku merasa lemas seketika. Hatiku terbakar, entah kenapa. guru
tersebut belum tahu diri Evan yang sebenarnya, namun berkata kurang patut
menurutku.
Sekolah
kami merupakan sekolah yang berada di perbatasan Kabupaten, sehingga akses ke
pusat kota sulit dilakukan. Berkat dukungan dari kepala sekolah, aku tidak
patah semangat untuk melakukan perubahan di sekolah ini. Masalahan yang
dihadapi Evan menginspirasiku agar tidak ada lagi anak yang tidak dapat
membaca, akhirnya munculah ide sebuah gerakan membaca yang kelak dinamakan GELAS
(Gerakan Literasi Sekolah).
GELAS
bertujuan untuk menumbuhkan minat baca dan menulis anak-anak, dimana sejak
pertama kali aku berada di sini, perpustakaan sekolah hanya menjadi sebuah
gudang buku yang tak pernah dibuka dan dilihat. Dengan kondisi itulah aku
berusaha untuk memberikan pelayanan terbaik untuk gerakan ini, agar minat baca
mereka tumbuh dengan kesadaran sendiri.
Aku
berpikir keras agar gerakan ini disukai oleh semua kalangan, baik rekan-rekan
guru, orangtua maupun siswa. Untuk menyukseskan gerakan ini, aku bekerjasama
dengan siswa kelas 6. Dibawah bimbinganku, merekaku berikan kepercayaan untuk
mengelola semua gerakan ini, mulai dari memilih buku, menyiapkan meja, hadiah,
sampai dengan kostum yang mereka kenakan. Kepercayaan ini aku berikan untuk
mengajarkan mereka keberanian dan kemandirian.
Siswa
kelas 6 pun sudah siap menyambut para pembaca, mereka menyediakan buku-buku
yang di pajang di depan kelas. Setiap siswa memilih buku yang ingin mereka
baca, dengan waktu 15 menit anak-anak membaca di lingkungan sekolah, ada yang
membaca di dalam kelas, di koridor sekolah, di taman, bahkan di bawah pohon.
Sedangkan
bagi anak-anak yang belum dapat membaca seperti Evan, aku merancang sebuah
kegiatan agar belajar membaca terasa menyenangkan. Kegiatan yang aku buat
seperti mendongeng dengan menggunakan boneka tangan, membuat huruf menggunakan
lilin warna, tetab-tebakan menyambung kata dan lain sebagainya.
Hasil
positif yang kami peroleh dari gerakan ini adalah semakin banyaknya siswa yang
masuk ke perpustakaan untuk membaca atau bermain alat-alat peraga yang ada di
perpustakaan. Disamping itu ada beberapa siswa yang meminjam buku sekolah untuk
dibaca di rumahnya, serta pengetahuan mereka pun semakin bertambah.
Gerakan
literasi hari ini sudah selesai, waktunya anak-anak belajar di kelas. Guru
kelas 3 ternyata izin tidak masuk. Karena jam pertama dan kedua tidak ada
jadwal mengajar, aku pun berinisiatif menggantikannya. Ada kesempatan lagi
untuk mengenal jauh Evan.
“Anak-anak
apa yang Bapak pegang ini?” tanyaku setelah mengucapkan salam, berdoa bersama
dan yel-yel semangat.
“Uang
sepuluh ribu, Pak!” serentak mereka menjawab.
“Hari
ini kita akan belajar tentang apa ya?” aku merangsang imajinasi mereka dengan
pertanyaan.
Ada
yang menjawab tentang pasar, bank, belanja, atau uang.
“Menurut
Evan, hari ini kita mau belajar pelajaran apa
ya, Nak?” tanyaku pada Evan, yang duduk di sudut kelas.
Detak
jantungku berdegup kencang menunggu jawabannya.
“Matematika,
Pak” jawabnya dengan nada malu.
“Wah
jawaban Evan benar, tepuk heba!.” Akupun memberi apresiasi kepadanya bersama
seluruh siswa
“
Waaaaaw hebat!” jawab serempak
teman-temannya dengan memberikan dua jempol kepada Evan.
“Hari
ini kita belajar matematika, silahkan bukunya disiapkan,” perintahku pada
siswa.
Aku
membagi siswa ke dalam empat kelompok, setiap kelompok akan berkopetisi untuk
mendapatkan juara.
“Waduh
satu kelompok sama Evan. Pak dia dongo,
saya gak mau satu kelompok sama dia,”
protes Rizki.
“Rizki,
ini sudah ketentuan permainan, siapa pun anggotanya itulah kelompok kalian,”
sergahku.
Setelah
pembahasan cara menulis nominal uang rupiah dengan benar, aku mengadakan
kompetisi di setiap kelompok. Setelah siswa-siswa yang lain bergantian ke papan
tulis, giliran Evan yang maju.
“Pasti
si dongo salah,” ejek Rizki dihadapan
teman-temannya.
“Rizki
sekali lagi kamu mengatakan itu, Bapak akan hukum kamu,” ancamku dengan
memendam dongkol di hati.
Memang
benar yang dibicarakan selama ini tentang Evan. Aku menyaksikan langsung dia
memang belum bisa membaca. jangankan membaca, huruf saja dia belum tahu.
Untuk
mencari tahu masalah Evan yang sebenarnya, kugali beberapa informasi dari
berbagai sumber. Sampai akhirnya aku berkesimpulan bahwa Evan mengalami
disleksia. Awalnya aku bingung harus berbuat apa. Tapi, setelah memetik
inspirasi dari film tentang anak disleksia yang ada di laptopku, aku percaya
Evan bisa sembuh.
“Evan,
mau tidak bermain dengan Bapak?” tawaranku padanya suatu ketika.
“Bermain
apa, Pak?” jawabnya dengan penuh senyuman
“Main
ular tangga,” balasku
Aku
membuat ular tangga ini hasil mencari tahu apa kesukaan Evan. Kebetulan saat
itu anak-anak sedang hobi bermain ular tangga, aku menciptakan ular tangga dengan
memodifikasi ular tangga yang biasa anak-anak mainkan. Agar tidak sulit untuk
mereka mainkan, aku hanya mengubah sedikit aturan untuk memainkannya.
Bahan
dan alat yang diperlukan adalah kertas karton, gambar-gambar (hewan, tumbuhan atau
benda) lem, gunting, pensil, spidol warna, penggaris, pulpen dan lem pelastik.
Untuk
membuatnya, Pertama aku memotong kertas karton dengan ukuran 30 x 60
sentimeter. Lalu karton diberi garis lurus vertikal dan horizontal hingga
menghasilkan kotak sejumlah 100 buah. Di kotak-kotak inilah kutempelkan
gambar-gambar yang keduanya saling berhubungan. Gambar-gambar tersebut kemudian
disatukan oleh ular dan tangga.
Setelah
selesai, aku menuliskan perkalian di delapan kotak yang ada di sana, seperti
3x4, 5x2, 2x4. Lalu menuliskan nomor 1-9 dan dilanjutkan dengan abjad dari A
sampai Z. Setelah itu, ditutup dengan lem pelastik agar kertas tidak terkena air
atau mudah sobek.
Aturan
main dalam permainan ular tangga ini sebagai berikut : ketika mengenai kotak
mana pun, siswa harus mengucapkan huruf
atau angka yang berada di kotak tersebut. Jika tidak bisa, maka dia harus turun
satu langkah. Saat posisi penjumlahan, pengurangan ataupun perkalian, siswa
yang mampu menjawab bisa naik sebanyak tiga langkah. Apabila salah menjawab,
maka dia harus turun kembali sebanyak tiga langkah.
Permainan
pun dimulai, Evan melemparkan dadu tersebut. Muncullah angka 5 pada dadunya. Dia
pun perlahan menggeserkan pionnya dengan dibarengi hitungan 1 sampai 5.
“Lima,
Pak” teriaknya.
Sekarang
giliranku melemparkan dadu. Muncullah angka enam pada dadu. Aku menggeserkan perlahan agar Evan terbiasa
dengan angka-angka ini. Kebetulan pionku berada di posisi yang menunjukan
tangga. Pion pun naik melangkah. Karena yang keluar angka 6, aku melemparkan
dadu kembali dan diperolehlah angka 3. Perlahan pion pun kugeser hingga
berhenti di huruf K.
Giliran
Evan yang berikutnya melemparkan dadu. Permainan semakin seru. Beberapa huruf
yang dilewati, ternyata belum Evan ketahui, yaitu B, D, P, F, N dan M. Evan juga
belum bisa membedakan huruf kapital dan huruf kecil. Ketika mengetahui huruf B
(kapital), dia tidak tahu hurup b yang kecil. Perbedaan huruf kapital dan kecil
ini membingungkan dirinya. Sama halnya saat ia kesulitan membedakan huruf P dan
F.
Dari
informasi yang kuperoleh, disleksia bisa diatasi dengan banyak cara. Selain
menggunakan ular tangga, aku aku biasa membawa lilin-lilin warna untuk membuat
huruf. Cerita juga kerap kupakai untuk mengenalkan huruf. Gambar-gambar
berhuruf kujadikan sebagai nama tokoh cerita.
Tanpa
terasa, satu bulan sudah aku menangani Evan, Dia sudah mengetahui huruf-huruf.
Tinggal mengajarinya untuk menyambungkan kata per karta. Karena ada banyak
aktivitas lain yang juga penting, kukurangi porsi mendampingi Evan di luar
sekolah. Tentu saja aku sebenarnya tidak ingin kemajuan yang sudah dicapai Evan
terhenti tiba-tiba. Sebuah carapun sudah kupikirkan : ular tangga buatanku
kuberikan kepadanya untuk dibawa ke rumah. Dengan ular tangga ini aku berharap
dia tetap bermain bersama teman-temannya sambil secara tidak langsung belajar
mengenal huruf.
Suatu
hari saat aku mengajar di kelas 1, mataku tak sengaja melihat Evan yang sedang
memperhatikanku. Tepatnya memerhatikan huruf-huruf yang kutuliskan di papan
tulis. Huruf-huruf itu berisikan perintah pada anak-anak. Lamat-lamat kudengar
suara Evan turut membaca. Hatiku langsung bungah melihat kemajuan Evan.
Selesai
mengajar siswa kelas satu, aku segera memanggil Evan. Kusodorkan kertas dengan
satu kalimat pendek di atasnya. Dengan terbata-bata Evan membaca kata demi kata
kalimat tersebut. Hatiku kembali bahagia dan terharu melihat Evan sudah bisa
membaca walau masih terbata-bata.
Evan
hanya salah satu dari sekian anak spesial yang pernah kutemui. Mereka butuh
perhatian dan kasih sayang pendidikan, dan bukan sebaliknya, yakni menerima
bentakan, ejekan, dan hinaan. Apabila psikologi anak-anak itu labil dan rapuh,
lingkungan sekolah berpotensi menghancurkan mereka dengan cepat.
Bukan
hanya Evan dan beberapa temannya yang masih kesulitan dalam membaca dan
menulis, masih terdapat ribuan anak Indonesia yang membutuhkan perhatian kita.
Hal ini menjadi perhatian kita bersama untuk memajukan pendidikan Indonesia
yang lebih baik, salah satu kemajuan tersebut dengan Gerakan Literasi Sekolah.
Karena dengan gerakan ini banyak perubahan-perubahan yang lebih baik yang
dirasakan oleh siswa, guru maupun sekolah. Mari kita konsisten dan terus berinovasi
menciptakan suasana literasi yang menyenangkan.
No comments:
Post a Comment