Saturday, March 15, 2014

Kecerdasan Anak Terenggut Oleh Tuntutan Kognitif
Oleh : Suhendra Saputra
Minggu-minggu ini kita disuguhkan berita tentang pembunuhan ade sarah yang dilakukan oleh teman dan mantan pacarnya sendiri, bukan hanya itu pemberitaan pun banyak menyoroti kenakalan para pelajar yang tak kunjung berhenti, baik tauran antar pelajar yang tidak sedikit diakhiri oleh kematian dan pemberitaan sex bebas yang tidak malu memperlihatkan aksi bejatnya itu kesosial media.
Ketika hal itu dilakukan oleh para pelajar, mau tidak mau pendidikanlah yang berperan penting dalam meminimalisir hal tersebut, karena hanya dengan jalan itulah para pelajar diberikan pemehaman mengenai prilaku yang seharusnya mereka lakukan.
Munif chatib dalam bukunya orang tuanya manusia mengatakan bahwa “ sistem pendidikan kita masih menitik beratkan pada kemampuan kognitiof anak. Selama ujian nasional dengan model pilihan ganda masih berfungsi menentukan kelulusan mereka, berapapun persentasenya secara langsung telah menghilangkan kemampuan psikomotorik dan afektif yang lebih luas dan bernilai. Parahnya orangtua malah terkena sindrom kognifit sebagai simbol keberhasilan belajar anak.” Itulah realita yang ada pada lingkungan pendidikan kita saat ini.
 Sebagian orang tua lebih senang ketika nilai matematika atau IPA anaknya memperoleh nilai yang besar dibandingkan ketimbang anaknya memiliki bakat menggambar , music, menari atau pemain sepak bola. Bahkan tidak jarang anak dilarang bermain dengan teman-temannya dalam permainan catur, bola dll demi waktunya untuk belajar, padahal mereka selama disekolah sudah banyak meluangkan waktunya untuk membaca dan belajar, namun orangtua belum merasa lega hatinya ketika belum melihat anaknya duduk manis di meja belajar dengan memegang buku pelajarannya.
Sekolah masih menitik beratkan dalam menggali kognitif anak, sehingga keterampilan atau psikomotorik siswa terbunuh oleh tuntutan kurikulum dan ditambah dengan ujian nasional yang menjadi momok bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa. Dampak dari itu waktu yang dimiliki siswa kelas tiga tingkat SMA habis oleh kegiatan untuk menggali kemampuan kognitif mereka, padahal kita ketahui bahwasannya setiap orang memiliki kecerdasan yang berbeda. Dampak dari apa yang terjadi disaat mereka lulus dari sekolah ketika terjun kedunia kerja, bisa kita lihat anak muda yang seharusnya memiliki semangat untuk mengembangkan potensi dirinya malah bekerja yang tidak sesuai dengan potensi yang mereka miliki, bahkan dikarenakan tuntutan keluarga dan dirinya sendiri, maka pekerjaan apapun akan dialakukan.
Apa yang kita lihat dari fakta di atas, ternyata kemampuan kognitif belum bisa memberikan dampak bagi siswanya, bahkan kemampuan psikomotoriknya pun terabaikan dan hilang ditelan waktu. Ketika kita melihat pada kecerdasan yang dimiliki manusia yang dimana orangtua, guru, bahkan pembuat kebijakan sekalipun belum begitu menyadari akan hal tersebut.
Menurut Dr. Howard Gardner, penemu teori multiple intelligent bahwasannya kecerdasan manusia terbagi pada delapan kecerdasan, pertama kecerdasan linguistik/ verbal yaitu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan bahasa atau kata-kata secara efektif. Biasanya seseorang yang memiliki kecerdasan linguistic ini memiliki passion menjadi seorang pengajar, pengacara, politikus, wartawan, presenter, penyiar, marketing, sales dll.
Kedua kecerdasan logis / matematis yaitu kemampuan yang dimiliki sesorang dalam menggunakan angka-angka dan penalaran logika dengan baik, biasanya mempunyai minat yang besar untuk bereksplorasi dan bertanya tentang berbagai phenomena serta menuntut jawaban yang logis. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan ini memiliki passion menjadi seorang dokter, pengacara, akuntan, programmer, insinyur, banker, analis keuangan dll.
Ketiga kecerdasan visual / spasial yaitu kemampuan berpikir 2 atau 3 dimensi, termasuk pemahaman akan bentuk ruang dan ruang serta hubungan antar benda dalam ruang, memiliki kepekaan akan arah atau lokasi tertentu. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan ini mereka memiliki passion menjadi arsitek, designer, seniman, fotografer, perancang tata kota dll.
 Keempat kecerdasan kinestetik yaitu kemampuan untuk menggunakan gerak tubuh atau bergerak dengan ketepatan tinggi dan mengekspresikan idea atau perasaan dengan gerakan tertentu. Biasanya orang yang memiliki kemampuan ini memiliki passion sebagai atlet, penari, pemeran pantomime, actor, tarainer, pramugari dll.
Kelima kecerdasan musikal yaitu kemampuan untuk memahami, mengapresiasi, memainkan dan menciptakan musik serta memiliki kepekaan akan ritme, melodi atau nada. Biasanya orang yang memiliki kemampuan ini memiliki passion menjadi seorang penyanyi, pencipta lagu, pemusik, composer, guru vocal, dirigen, dll.
Keenam kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan (berkomunikasi) dengan orang lain, memahami kebutuhan dan prilaku orang lain, mengenali perasaan dengan jeli, bekerja sama, pandai membangun kepercayaan dan mempertahankan hubungan positif. Orang yang memiliki kecerdasan ini berpotensi memiliki passion seorang pengajar, pebisnis, communication, public relation, konsultan, pekerja social, actor, rohaniwan, politikus dll.
Ketujuh kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan memahami, menganalisis dan merefleksikan diri sendiri, mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, serta menyadari perasaan, keinginan, harapan dan tujuan hidup. Orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal ini memiliki passoin seorang pelatih, pengajar, penulis, konselor, psikolog, rohaniwan, enterprener dll.
Kedelapan kecerdasan naturalis yaitu kemampuan untuk memahami alam sekitar, mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan persamaan dan perbedaan karakteristik spesies flora dan fauna, secara efektif berinteraksi dengan alam. Biasanya orang yang memilii kecerdasan ini memiliki passion sebagai aktivis lingkungan hidup, ahli pertanian dan peternakan, spesialis budi daya hewan tertentu, pencinta alam, polisi hutan, dokter hewan, pengelola kebun binatang, pengusaha binatang peliharaan dll.
Maka dari itu kita sebagai guru atau orang tua harus memberikan ruang yang lebih kepada anak-anak kita dalam menggali potensi psikomotorik atau kreatifitas yang mereka miliki. Kesempatan inilah yang dibutuhkan mereka dalam mengekspresikan hidupnya, bukan memenjarai mereka diruang tertutup di depan meja belajarnya, karena setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda. Dari kecerdasan yang dimilikinya kita sebagai guru dan orangtua harus memahami kebutuhan mereka, dan kita tidak boleh memaksa mereka untuk belajar sesuai dengan yang kita inginkan, mungkin anak kita belajar sambil ayunan di depan rumah dan mendengar musik lebih cepat mereka pahami ketimbang mereka harus duduk berlama-lama di depan meja, karena mungkin anak kita memiliki kecerdasan kinestetik.
 Dari kecerdasan yang dimiliki manusia ternyata dalam kehidupan tidak hanya pintar atau cerdas dalam kemampuan kognitif dan kreatifitas, namun itu semua harus dilandasi oleh kemampuan afektif atau karakter yang baik. Menurut Eri Sudewo dalam bukunya carakter building mengatakan bahwa “pendidikan karakter lebih kepada penanaman akhlak yang baik yang dilakukan oleh guru atau orangtua kepada anak-anaknya”. Anak-anak lebih menurut ketika guru atau orangtuanya mencontohkan langsung di depan mereka, seperti guru menyuruh membersihkan kelas dengan sama-sama membantu siswa bekerja dengan menyapu atau membuang sampah, dan anak-anak lebih membangkan ketika guru atau orangtuanya menyuruh mereka namun guru atau orang tuanya tidak memberikan contoh yang baik.
Karakter yang baik itu dibentuk oleh lingkungan yang baik, karakter tertanam dalam diri anak sejak anak itu dilahirkan sampai mereka berusia remaja, dari usia tersebut peran orang tua sangatlah besar pengaruhnya dalam menanamkan ahlak kepada anak, sehingga setelah mereka memiliki pondasi yang kuat maka apapun yang menggoyahkan dirinya dia akan tetap berdiri tegak.
Menurut Ari Sudewo dalam materi yang disampaikannya pada stadium general sekolah guru indonesia dompet duafa mengatakan bahwa “kompetensi tanpa karakter itu rusak dan karakter tanpa kopetensi itu pincang. Kopetensi itu seperti pohon dan akar karakternya”. Maka dari itu kita sebagai guru atau orangtua harus mempunyai karakter yang baik yang bisa kita contohkan kepada anak kita, disamping itu kita meski memperhatikan pergaulan yang dilakukan oleh anak-anak kita, karena sebagian besar pengaruh positif atau negatip itu bersumber dari lingkungan bermain mereka. 

Aktifis Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa

No comments:

Post a Comment