Kecerdasan Anak Terenggut Oleh Tuntutan
Kognitif
Oleh :
Suhendra Saputra
Minggu-minggu ini kita disuguhkan
berita tentang pembunuhan ade sarah yang dilakukan oleh teman dan mantan
pacarnya sendiri, bukan hanya itu pemberitaan pun banyak menyoroti kenakalan
para pelajar yang tak kunjung berhenti, baik tauran antar pelajar yang tidak
sedikit diakhiri oleh kematian dan pemberitaan sex bebas yang tidak malu
memperlihatkan aksi bejatnya itu kesosial media.
Ketika hal itu dilakukan oleh para
pelajar, mau tidak mau pendidikanlah yang berperan penting dalam meminimalisir
hal tersebut, karena hanya dengan jalan itulah para pelajar diberikan pemehaman
mengenai prilaku yang seharusnya mereka lakukan.
Munif chatib dalam bukunya orang
tuanya manusia mengatakan bahwa “ sistem pendidikan kita masih menitik beratkan
pada kemampuan kognitiof anak. Selama ujian nasional dengan model pilihan ganda
masih berfungsi menentukan kelulusan mereka, berapapun persentasenya secara
langsung telah menghilangkan kemampuan psikomotorik dan afektif yang lebih luas
dan bernilai. Parahnya orangtua malah terkena sindrom kognifit sebagai simbol
keberhasilan belajar anak.” Itulah realita yang ada pada lingkungan pendidikan
kita saat ini.
Sebagian orang tua lebih senang ketika nilai matematika
atau IPA anaknya memperoleh nilai yang besar dibandingkan ketimbang anaknya
memiliki bakat menggambar , music, menari atau pemain sepak bola. Bahkan tidak
jarang anak dilarang bermain dengan teman-temannya dalam permainan catur, bola
dll demi waktunya untuk belajar, padahal mereka selama disekolah sudah banyak
meluangkan waktunya untuk membaca dan belajar, namun orangtua belum merasa lega
hatinya ketika belum melihat anaknya duduk manis di meja belajar dengan
memegang buku pelajarannya.
Sekolah masih menitik beratkan
dalam menggali kognitif anak, sehingga keterampilan atau psikomotorik siswa
terbunuh oleh tuntutan kurikulum dan ditambah dengan ujian nasional yang
menjadi momok bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua siswa. Dampak dari itu
waktu yang dimiliki siswa kelas tiga tingkat SMA habis oleh kegiatan untuk
menggali kemampuan kognitif mereka, padahal kita ketahui bahwasannya setiap
orang memiliki kecerdasan yang berbeda. Dampak dari apa yang terjadi disaat
mereka lulus dari sekolah ketika terjun kedunia kerja, bisa kita lihat anak
muda yang seharusnya memiliki semangat untuk mengembangkan potensi dirinya
malah bekerja yang tidak sesuai dengan potensi yang mereka miliki, bahkan dikarenakan
tuntutan keluarga dan dirinya sendiri, maka pekerjaan apapun akan dialakukan.
Apa yang kita lihat dari fakta di
atas, ternyata kemampuan kognitif belum bisa memberikan dampak bagi siswanya,
bahkan kemampuan psikomotoriknya pun terabaikan dan hilang ditelan waktu. Ketika
kita melihat pada kecerdasan yang dimiliki manusia yang dimana orangtua, guru,
bahkan pembuat kebijakan sekalipun belum begitu menyadari akan hal tersebut.
Menurut Dr. Howard Gardner, penemu teori multiple
intelligent bahwasannya kecerdasan manusia terbagi pada delapan kecerdasan, pertama kecerdasan linguistik/ verbal
yaitu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan bahasa atau
kata-kata secara efektif. Biasanya seseorang yang memiliki kecerdasan
linguistic ini memiliki passion menjadi seorang pengajar, pengacara, politikus,
wartawan, presenter, penyiar, marketing, sales dll.
Kedua
kecerdasan logis / matematis yaitu kemampuan yang dimiliki sesorang dalam
menggunakan angka-angka dan penalaran logika dengan baik, biasanya mempunyai
minat yang besar untuk bereksplorasi dan bertanya tentang berbagai phenomena
serta menuntut jawaban yang logis. Biasanya orang yang memiliki kecerdasan ini
memiliki passion menjadi seorang dokter, pengacara, akuntan, programmer,
insinyur, banker, analis keuangan dll.
Ketiga
kecerdasan visual / spasial yaitu kemampuan berpikir 2 atau 3 dimensi, termasuk
pemahaman akan bentuk ruang dan ruang serta hubungan antar benda dalam ruang,
memiliki kepekaan akan arah atau lokasi tertentu. Biasanya orang yang memiliki
kecerdasan ini mereka memiliki passion menjadi arsitek, designer, seniman,
fotografer, perancang tata kota dll.
Keempat kecerdasan kinestetik yaitu
kemampuan untuk menggunakan gerak tubuh atau bergerak dengan ketepatan tinggi
dan mengekspresikan idea atau perasaan dengan gerakan tertentu. Biasanya orang
yang memiliki kemampuan ini memiliki passion sebagai atlet, penari, pemeran
pantomime, actor, tarainer, pramugari dll.
Kelima
kecerdasan musikal yaitu kemampuan untuk memahami, mengapresiasi, memainkan dan
menciptakan musik serta memiliki kepekaan akan ritme, melodi atau nada.
Biasanya orang yang memiliki kemampuan ini memiliki passion menjadi seorang
penyanyi, pencipta lagu, pemusik, composer, guru vocal, dirigen, dll.
Keenam
kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan (berkomunikasi)
dengan orang lain, memahami kebutuhan dan prilaku orang lain, mengenali
perasaan dengan jeli, bekerja sama, pandai membangun kepercayaan dan
mempertahankan hubungan positif. Orang yang memiliki kecerdasan ini berpotensi
memiliki passion seorang pengajar, pebisnis, communication, public relation,
konsultan, pekerja social, actor, rohaniwan, politikus dll.
Ketujuh
kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan memahami, menganalisis dan
merefleksikan diri sendiri, mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri,
serta menyadari perasaan, keinginan, harapan dan tujuan hidup. Orang yang
memiliki kecerdasan intrapersonal ini memiliki passoin seorang pelatih,
pengajar, penulis, konselor, psikolog, rohaniwan, enterprener dll.
Kedelapan
kecerdasan naturalis yaitu kemampuan untuk memahami alam sekitar,
mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan persamaan dan perbedaan
karakteristik spesies flora dan fauna, secara efektif berinteraksi dengan alam.
Biasanya orang yang memilii kecerdasan ini memiliki passion sebagai aktivis
lingkungan hidup, ahli pertanian dan peternakan, spesialis budi daya hewan
tertentu, pencinta alam, polisi hutan, dokter hewan, pengelola kebun binatang,
pengusaha binatang peliharaan dll.
Maka dari itu kita sebagai guru
atau orang tua harus memberikan ruang yang lebih kepada anak-anak kita dalam
menggali potensi psikomotorik atau kreatifitas yang mereka miliki. Kesempatan
inilah yang dibutuhkan mereka dalam mengekspresikan hidupnya, bukan memenjarai
mereka diruang tertutup di depan meja belajarnya, karena setiap anak memiliki
gaya belajar yang berbeda. Dari kecerdasan yang dimilikinya kita sebagai guru
dan orangtua harus memahami kebutuhan mereka, dan kita tidak boleh memaksa
mereka untuk belajar sesuai dengan yang kita inginkan, mungkin anak kita
belajar sambil ayunan di depan rumah dan mendengar musik lebih cepat mereka
pahami ketimbang mereka harus duduk berlama-lama di depan meja, karena mungkin
anak kita memiliki kecerdasan kinestetik.
Dari kecerdasan yang dimiliki manusia ternyata
dalam kehidupan tidak hanya pintar atau cerdas dalam kemampuan kognitif dan
kreatifitas, namun itu semua harus dilandasi oleh kemampuan afektif atau
karakter yang baik. Menurut Eri Sudewo dalam bukunya carakter building
mengatakan bahwa “pendidikan karakter lebih kepada penanaman akhlak yang baik
yang dilakukan oleh guru atau orangtua kepada anak-anaknya”. Anak-anak lebih
menurut ketika guru atau orangtuanya mencontohkan langsung di depan mereka,
seperti guru menyuruh membersihkan kelas dengan sama-sama membantu siswa
bekerja dengan menyapu atau membuang sampah, dan anak-anak lebih membangkan
ketika guru atau orangtuanya menyuruh mereka namun guru atau orang tuanya tidak
memberikan contoh yang baik.
Karakter yang baik itu dibentuk
oleh lingkungan yang baik, karakter tertanam dalam diri anak sejak anak itu
dilahirkan sampai mereka berusia remaja, dari usia tersebut peran orang tua
sangatlah besar pengaruhnya dalam menanamkan ahlak kepada anak, sehingga
setelah mereka memiliki pondasi yang kuat maka apapun yang menggoyahkan dirinya
dia akan tetap berdiri tegak.
Menurut Ari Sudewo dalam materi
yang disampaikannya pada stadium general sekolah guru indonesia dompet duafa
mengatakan bahwa “kompetensi tanpa karakter itu rusak dan karakter tanpa
kopetensi itu pincang. Kopetensi itu seperti pohon dan akar karakternya”. Maka
dari itu kita sebagai guru atau orangtua harus mempunyai karakter yang baik
yang bisa kita contohkan kepada anak kita, disamping itu kita meski
memperhatikan pergaulan yang dilakukan oleh anak-anak kita, karena sebagian
besar pengaruh positif atau negatip itu bersumber dari lingkungan bermain
mereka.
Aktifis Sekolah
Guru Indonesia Dompet Dhuafa
No comments:
Post a Comment