Krisis
Moral Dalam Dunia Pendidikan
Oleh
: Suhendra Saputra
Munculnya
kembali gagasan tentang Pendidikan karakter yang dahulu bernakan pendidikan
budi pekerti harus diakui berkaitan erat dengan semakin berkembaangnya pandangan
dalam masyarakat luas, bahwa Pendidikan Nasional dalam berbagai jenjangnya,
khusus jenjang menengah dan tinggi
“gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki karakter yang baik.
Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya memiliki
kesantunan, baik disekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat, tetapi
juga sering kita lihat baik secara langsung maupun melalui media. Para pelajar
sering terlibat dalam tindakan kekerasan masal, seperti tauran.
Banyak
pakar atau ilmuan yang berpendapat bahwasannya, yang menjadikan kemerosotan
Akhlak, Moral dan Etika para pelajar disebabkan gagalnya Pendidikan Agama di
sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, Pendidikan Agama memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi
pendidikan Agama yang terlalu banyak teoretis, sampai dengan pendekatan
Pendidikan Agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi dari pada afeksi
dan psikomotorik peserta didik. Dilihat dari kendala di atas,
masalah-masalah seperti ini, Pendidikan
Agama kurang fungsional dalam membentuk Akhlak, Moral dan bahkan kepribadian
peserta didik.
Sejauh
menyangkut krisis mentalitas dan ahlak pelajar, terdapat beberapa masalah pokok
yang turut menjadi akar kreatif mentalitas dan moralitas lingkungan Pendidikan
nasional (johar 1999). Petama, arah
pendidikan telah kehilangan obyektifitasnya. Sekolah dan lingkungan tidak lagi
merupakan tempat peseta didik melatih diri untuk bebuat sesuatu berdasarkan
nilai-nilai Moral dan akhlak dimana mereka mendapat koreksi tentang tindakannya,
salah satu baik-benar atau buruk terdapat keengganan lingkungan guru untuk
mengatur peserta didik yang melakukan tindakan –tindakan peserta didik yang kurang
pada tempatnya.
Kedua,
Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan sekolah. Lembaga
pendidikan kita cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan perkembangan
mentalitas anak, selain berfungsi pokok untuk mengisi fungsi kognisi, afeksi
dan psikomotorik peserta didik, sekolah sekaligus juga bertugas untuk mempersiapkan
mereka meningkatkan kemampuan, merespon dan memecahkan masalah dirinya sendiri
maupun orang lain. Dengan demikian terjadi proses pendewasaan peserta didik
secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggung
jawab.
Tiga,
Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan bahkan guru,
proses belaja mengajar yang cenderung sangat ketat dan juga karena beban kurikulum
yang sangat ketat, Akibatnya hampir tidak
tersisa lagi kurang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreatifitas Kognisi, Apeksi dan psikomotorik lebih parah
lagi interaksi di sekolah setelah hampi kehilangan Human dan personal, jalannya
proses pendidikan disekolah, hampir semua dengan interaksi manusia dipabrik
yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan robotik.
Empat,
Beban kurikulum yang demikian berat, lebih paah lagi hampir sepenuhnya di orientasikan
pada pengembangan arnah kognisi belaka. Dan pada ranah afeksi dan psikomotorik
hampir tidak mendapatkan perhatian dalam pengembangannya, padahal pengembangan
kedua ranah ini sangat penting dalam membangun akhlak, moral dan karakter yang
baik.
Lima,
Pada saat yang sama peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang serring bertentangan.
Pada satu pihak mereka diajakan para guru pendidikan Agama untuk betingkah laku
baik, jujur, hemat, rajin, disiplin dan lain-lain, tetapi dalam saat yang sama
banyak orang di luar lingkungan sekolah justru melakukan tindakan yang berlawanan
dengan hal sepeti itu.
Enam,
peserta didik mengalami kesulitan dalam mencai contoh teladan yang baik
dilingkungannya. Masalah yang dikemukakan diatas saling bekaitan satu sama lain
dan sebab itu upaya mengatasinya tidak bisa secaa persial, bahkan dapat
dikatakan pemecahan masalah itu dapat dilakukan oleh pihak pemerintah yang berwenang,
agar dimana proses pembelajaan yang di lakukan oleh semua peserta didik
diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu baik untuk meningkatkan prestasinya dan terutama dalam kepribadiannya.
Maka dari itu
kita sebagai orangtua, guru atau masyarakan lebih memperhatikan pergaulan yang
dilakukan oleh anak-anak kita, karena sebagian besar pengaruh negatif yang
dilakukan pelajar bersumber dari lingkungan bermain mereka. Kita sebagai
orangtua tidak meski membatasi bermain atau pergaulan mereka, karna sehawatir
hawatirnya kita terhadap anak kita, kita meski memberikan ruang untuk mereka
hidup bersosial, namun yang meski kita lakukan yaitu mengarahkan dan memantau mereka
dalam lingkungan bermainnya
Aktifis Sekolah
Guru Indonesia dompet dhuafa
.
.
No comments:
Post a Comment