Saturday, March 15, 2014

krisis moral du dunia pendidikan

Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Oleh : Suhendra Saputra
Munculnya kembali gagasan tentang Pendidikan karakter yang dahulu bernakan pendidikan budi pekerti harus diakui berkaitan erat dengan semakin berkembaangnya pandangan dalam masyarakat luas, bahwa Pendidikan Nasional dalam berbagai jenjangnya, khusus jenjang menengah dan tinggi  “gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki karakter yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya memiliki kesantunan, baik disekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat, tetapi juga sering kita lihat baik secara langsung maupun melalui media. Para pelajar sering terlibat dalam tindakan kekerasan masal, seperti tauran.
            Banyak pakar atau ilmuan yang berpendapat bahwasannya, yang menjadikan kemerosotan Akhlak, Moral dan Etika para pelajar disebabkan gagalnya Pendidikan Agama di sekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, Pendidikan Agama memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, sejak dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan Agama yang terlalu banyak teoretis, sampai dengan pendekatan Pendidikan Agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognisi dari pada afeksi dan psikomotorik peserta didik. Dilihat dari kendala di atas, masalah-masalah  seperti ini, Pendidikan Agama kurang fungsional dalam membentuk Akhlak, Moral dan bahkan kepribadian peserta didik.
            Sejauh menyangkut krisis mentalitas dan ahlak pelajar, terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar kreatif mentalitas dan moralitas lingkungan Pendidikan nasional (johar 1999). Petama, arah pendidikan telah kehilangan obyektifitasnya. Sekolah dan lingkungan tidak lagi merupakan tempat peseta didik melatih diri untuk bebuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai Moral dan akhlak dimana mereka mendapat koreksi tentang tindakannya, salah satu baik-benar atau buruk terdapat keengganan lingkungan guru untuk mengatur peserta didik yang melakukan tindakan –tindakan peserta didik yang kurang pada tempatnya.
Kedua, Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan sekolah. Lembaga pendidikan kita cenderung lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan perkembangan mentalitas anak, selain berfungsi pokok untuk mengisi fungsi kognisi, afeksi dan psikomotorik peserta didik, sekolah sekaligus juga bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan, merespon dan memecahkan masalah dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian terjadi proses pendewasaan peserta didik secara bertahap dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bertanggung jawab.
Tiga, Proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan bahkan guru, proses belaja mengajar yang cenderung sangat ketat dan juga karena beban kurikulum yang sangat ketat, Akibatnya  hampir tidak tersisa lagi kurang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreatifitas  Kognisi, Apeksi dan psikomotorik lebih parah lagi interaksi di sekolah setelah hampi kehilangan Human dan personal, jalannya proses pendidikan disekolah, hampir semua dengan interaksi manusia dipabrik yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan robotik.
Empat, Beban kurikulum yang demikian berat, lebih paah lagi hampir sepenuhnya di orientasikan pada pengembangan arnah kognisi belaka. Dan pada ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapatkan perhatian dalam pengembangannya, padahal pengembangan kedua ranah ini sangat penting dalam membangun akhlak, moral dan karakter yang baik.
Lima, Pada saat yang sama peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang serring bertentangan. Pada satu pihak mereka diajakan para guru pendidikan Agama untuk betingkah laku baik, jujur, hemat, rajin, disiplin dan lain-lain, tetapi dalam saat yang sama banyak orang di luar lingkungan sekolah justru melakukan tindakan yang berlawanan dengan hal sepeti itu.
Enam, peserta didik mengalami kesulitan dalam mencai contoh teladan yang baik dilingkungannya. Masalah yang dikemukakan diatas saling bekaitan satu sama lain dan sebab itu upaya mengatasinya tidak bisa secaa persial, bahkan dapat dikatakan pemecahan masalah itu dapat dilakukan oleh pihak pemerintah yang berwenang, agar dimana proses pembelajaan yang di lakukan oleh semua peserta didik diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu baik untuk meningkatkan  prestasinya dan terutama dalam kepribadiannya.
Maka dari itu kita sebagai orangtua, guru atau masyarakan lebih memperhatikan pergaulan yang dilakukan oleh anak-anak kita, karena sebagian besar pengaruh negatif yang dilakukan pelajar bersumber dari lingkungan bermain mereka. Kita sebagai orangtua tidak meski membatasi bermain atau pergaulan mereka, karna sehawatir hawatirnya kita terhadap anak kita, kita meski memberikan ruang untuk mereka hidup bersosial, namun yang meski kita lakukan yaitu mengarahkan dan memantau mereka dalam lingkungan bermainnya
Aktifis Sekolah Guru Indonesia dompet dhuafa
.

No comments:

Post a Comment